Hubungan Islam-Kristen (Bagian 2): Ketika Eropa Belajar Kembali
Oleh Srie
Semangat
kebangkitan kembali Islam yang muncul terutama sejak akhir abad ke-19, saat
kekhalifahan Turki Utsmani diambang kehancuran merupakan reaksi balik atas
kekalahan sejarah yang pernah dialami oleh umat Islam.
Peperangan
yang terjadi pada negeri-negeri muslim yang menginginkan kemerdekaan dari
penjajahan bangsa Eropa, sebagiannya merupakan semangat untuk melakukan
perlawanan berdasarkan atas hubungan Islam-Kristen.
Pasca
Perang Dunia II, di mana banyak negeri-negeri muslim telah merdeka, termasuk
Indonesia, sisa-sisa konflik sejarah tersebut sebagian masih terus berlanjut.
Wujudnya, adalah dalam bentuk pilihan model pembangunan bagi negara-negara yang
baru merdeka.
Saat
itu, westernisasi sebagai bentuk model pembangunan ala Barat mendapat tanggapan
yang sangat kritis dari kelompok mereka yang menginginkan “orisinilitas” model
pembangunan bagi bangsanya sendiri.
Pada
titik ini, secara perlahan Kristen terpilah kembali dari Western (Barat), dimana semangat
nasionalisme muncul sebagai alternatif lain dalam merespon cara Barat. Meski
begitu, stigma Kristen adalah Barat dan Barat adalah Kristen masih melekat pada
sebagian kaum muslimin.
Akibatnya,
stigma ini masih cukup mempengaruhi atas persepsi dan sikap sebagian umat islam
yang masih menidentifikasi permasalahan yang terkait dengan Barat berhubungan
dengan Kristen. Isu terorisme yang menjadi isu kontemporer, telah ikut mewarnai
pula atas hubungan baru Islam-Kristen.
Kompetisi
Global
Kini,
ketika dunia telah menjadi kampung global yang kian saling berhubungan dan
bergantung satu sama lain, telah menemukan momentum untuk mendorong hubungan
antar keduanya menjadi lebih baik lagi.
Dalam
konteks Indonesia, maka hubungan Islam-Kristen mendapatkan pemaknaan baru
ketika bangsa ini dihadapkan pada kompetisi yang kian ketat dengan
bangsa-bangsa lain di dunia. Tampilnya Indonesia, sebagai salah satu negara
yang banyak diramalkan bakal menjadi pemain penting di dunia, diharapkan dapat
lebih memperkuat hubungan baru Islam-Kristen di negeri ini.
Peran
Eropa yang pernah tampil dominan selama tiga abad terakhir ini, kian menyurut
dengan tampilnya bangsa-bangsa lain, seperti China, India, Brasil dan Indonesia
sebagai pemain-pemain baru yang akan ikut menetukan masa depan dunia. [Baca: Dewan
Intelijen Amerika: Indonesia Akan Ambil Alih Eropa].
Krisis
finansial yang bermula pada tahun 2008, ternyata masih berdampak serius bagi
banyak negara-negara di Eropa yang hingga kini belum beranjak pulih. Stagnasi
pertumbuhan ekonomi telah membuat ancaman resesi yang kian serius bagi benua
biru. Secara nyata, krisis bermula dari Yunani, Portugal, Italia, Spanyol,
Perancis, Belanda, Inggris hingga Jerman pun tak terlepas dari ancaman
krisis pula.
Eropa
Belajar kembali?
Bagi
Eropa, mungkin inilah saat yang paling tepat untuk bisa belajar kembali dari
bangsa-bangsa lain. Selama ini, Eropa merasa diri sebagai bangsa yang paling
superior dengan dampak yang sangat luar biasa signifikan bagi bangsa-bangsa
lain hingga sekarang.
Harapannya,
tentu agar Eropa tidak lagi mengulangi sejarah keangkuhannya yang mengabaikan
fakta sejarah besarnya sumbangan peradaban bangsa lain (terutama peradaban
Islam) bagi kemajuan Eropa modern saat ini.
Sama
halnya, ketika peradaban Islam memanfaatkan banyak keunggulan peradaban bangsa
lain, terutama perdaban Yunani dan Romawi, untuk kejayaannya selama 700 tahun
dalam panggung sejarah dunia.
Almarhum
Nurcholish Madjid pernah mengatakan, pemahaman dan kesadaran atas terjadinya
pertukaran sumbangan antar peradaban ini menjadi penting, terutama untuk
membangun hubungan baru yang lebih konstruktif, jujur dan saling menghargai.
Satu
sisi, kesadaran ini akan menebas keangkuhan Eropa untuk mengakui utang
budayanya terhadap peradaban Islam. Sedangkan pada sisi lain, kesadaran ini pun
akan mengikis apa yang disebut oleh Cak Nur sebagai rasa rendah diri (inferiority complex) kaum muslim, sedemikian rupa sehingga
muncul kepercayaan diri untuk kemudian dijadikan modal bagi perkembangan
selanjutnya untuk kemajuan.
Kolaborasi
Kebangsaan
Adanya
perubahan konstelasi dunia ini diharapkan pula dapat memberikan dampak positif
bagi hubungan antar pemeluk agama-agama di Indonesia. Sebuah negeri, yang kini
mencatatkan diri sebagai berpenduduk muslim terbesar di dunia. [Baca: Muslim
Indonesia Terbesar di Dunia]
Di
sini, ajaran agama-agama harus menemukan bentuk dan semangatnya yang lebih
relevan, sehingga bangsa ini dapat maju atas hasil dari kolaborasi kebangsaan.
Termasuk di dalamnya, adalah kolaborasi kerja-kerja kemanusiaan antar para
pemeluk agama yang berbeda.
Isu-isu
kemanusiaan universal, seperti masalah kemiskinan, pengangguran, korupsi,
pendidikan, kesehatan, kelestarian lingkungan hidup, demokrasi, hak asasi
manusia, dan lain-lain seharusnya akan mampu mendorong pilihan kerjasama yang
lebih erat antar kedua pemeluk agama.
Agama,
dengan demikian, dapat berfungsi sebagai salah satu bagian dari modal sosial
bagi kemajuan bangsa ini dalam bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Bukan sebaliknya.
Realitas
sosial, ekonomi dan politik, seringkali mendorong kembali hubungan antar kedua
pemeluk agama ini menjadi ironi. Agama, dengan demikian, jatuh sebagai bagian
dari masalah, bukan solusi bagi bangsa dan para pemeluknya.
Sumber
: http://www.srie.org/2012/12/hubungan-islam-kristen-bagian-2-ketika.html
No comments:
Post a Comment